29 July 2011

21 July 2011

Mutual Friends Gathering #3

Hebat ya! udah ketiga aja. Saya aja gak inget apa pernah ngepost yang pertama ke sini. Saya aja bahkan sempet lupa yang kedua dimana. Yang jelas kali itu saya ingat ada di parkiran motor Blok M, sama Ical, lagi ngopi walaupun gak bawa flashdisk. Lagi nunggu Kintari walaupun dia sudah punya pacar tapi kita berdua tetap saja rela nungguin dia. Gak berapa lama, gak sampe sebulan akhirnya Kintari datang bulan.

Dari situ kami gak langsung berangkat kemana - mana, menunggu kabar dulu dari Fiya, setelah Fiya berkabar, barulah kami berkabur menuju Galnas dengan menggunakan Transjakarta. Tapi sebelumnya kami transit dulu di Harmoni, sembari menunggu Zilla. Tentu saja Zilla yang dimaksud bukan Zilla yang ini.


Gila aja ya kita nungguin Damian "Junior Gong" Marley A.K.A. Zilla di shelter Harmoni kayanya ampe gimbal gue nyentuh tanah juga gak bakalan dateng. Zilla yang saya maksud adalah gadis yang baru saja menerima anugerah sekaligus tertimpa musibah karena tiba - tiba jadi jadian dengan saya. Dari sana akhirnya kami semua berangkat menuju Galnas dengan kondisi sudah telat setengah jam dari yang di jadwalkan sebelumnya dengan Fiya dan Riri. Satu shelter sebelum Galnas, Ical bermonolog apakah ini akan ke kanan atau ke kiri, ternyata ke kanan dan kami melewati Galnas begitu saja dan menyebabkan kami harus ikut Transjakarta sampe Senen (Shelter Senen maksudnya, kita juga gak mau sampe berhari - hari di dalam Bus yang dulunya dingin tapi sekarang sudah tidak lagi itu) dan kemudian kembali ke shelter Gambir I. Singkat katanya sih kita salah turun, tapi PR. Dan telat sejam dari jadwal.

Akhirnya kami sampai di Galnas, sekarang jumlah orangnya menjadi 28, dan mari saya sebutkan satu persatu. Disana ada Ical, Kintari, saya, Zilla, Fiya, dan Riri. Loh kok cuma 6? tadi katanya 28? Iya memang ada sekitar dua puluh delapan, tapi saya kan gak bilang kalau semuanya itu teman saya. Kami di sana seperti selayaknya orang menonton pameran dan ketika saya lihat HP ternyata sudah ada 3 SMS dari Nadine yang menyatakan dia sudah sampai, dari tadi, dan baru saya lihat. Dan akhirnya saya samperin itu Nadine. Nadine lalu masuk, melihat - lihat sebagaimana yang kami lakukan, dan akhirnya kami semua keluar bersama - sama untuk pindah ke Ragusa. Saya bilang ke Nadine yang dari Malang itu kalau Ragusa itu es krim paling enak se Jakarta, tapi kemudian saya ralat karena sebenernya biasa aja.

Lalu saya bilang kalau Ragusa itu es krim paling tua seJakarta, jadi es krimnya disimpen dari zaman belanda sampe sekarang, kalau ada pesanan baru dikeluarin. Maksud saya sih sebenarnya agar terkesan berkelas seperti anggur, tapi malah terkesan menjijikan ya. Yasudahlah itu tidak penting karena sekarang kami semua ada di Ragusa, dan sekarang sudah ditambah dengan seorang Hanna. Kami semua bercerita banyak di sana. Sampai ke sebuah dialog yang cukup serius walau tidak seserius yang ada di TV One.

"Gue tuh kaya gitu karena gue peduli sama temen gue.", itu kata seorang Hanna.

"Tapi sekarang  justru lo kehilangan temen lo, kan?",
itu kata seorang saya seorang diri.

Yang saya lihat sebenarnya lucu. Sebenarnya ada dua orang sahabat yang peduli satu sama lain. Namun sayangnya manusia itu seperti uang logam, yang punya dua sisi. Pasti ada sisi baik, dan pasti ada sisi buruknya. Jadi tidak ada yang sepenuhnya salah, dan tidak ada juga yang sepenuhnya benar. Namun sayangnya di antara persahabatan dan kepedulian, seringkali ada ego di tengahnya. Ego loh ya, gak pake "B". Kalo pake "B" jadinya egob. Sudahlah, kita semua sudah besar, dan karenanya kami semua akhirnya cabut dari Ragusa. Saya tau itu tidak nyambung, tapi yasudahlah. Intinya kami semua beranjak dari Ragusa.

Tujuan selanjutnya adalah TIM. Dan kali ini di TIM, sudah tidak ada Zilla, Hanna, Fiya, dan Riri. Mereka semua pergi meninggalkan kami, tetapi mereka tidak jahat. Mereka hanya punya kepentingan pribadi masing - masing. Saya, Ical, Nadine, dan Kintari memutuskan untuk ke Planetarium, menikmati bintang di kala matahari masih sibuk bercahaya. Keluar dari sana, Nadine ingin melihat IKJ, pergilah kami ke dalam.

"Ini IKJ?", tanya Nadine

"Iya, ini udah kampusnya", jawab Ical

"Kalo aku jadi kuliah disini gimana yah?", tanya Nadine lagi

Lalu ada mahasiswi yang datang melewati pagar melalui tangga. Kalau kalian anak IKJ, saya tau kalian lebih paham dari saya.

"Tuh, kaya gitu", kata kami kepada Nadine

Kami baru saja ingin masuk ke dalam sampai tiba - tiba ada mas - mas nyaut - nyautin kami. Ternyata itu Idham, dan akhirnya kami mengobrol untuk kemudian mencari makan. Di sana kami makan dan membahas tentang Ivan yang tidak bisa datang dan disusul dengan Toro Elmar (atau biar lebih lucu mari kita panggil dia Toro LMAO) yang sudah sampai dan kami nyamperin dia. Gak berapa lama datang Sofwan dan selanjutnya saya sudah tidak ingat lagi karena terlalu banyak kenalan yang saya kenali di sana.

Dan singkat kata, kita sudahi aja agar terkesan kentang. HAHAHAHAH

16 July 2011

Ancol itu blur!

Oke, tebak saya dimana? yak! di depan monitor. Tapi maksud saya. tebak saya ada di mana waktu cerita ini saya mulai. Saya di Blok M, menunggu Ical. Tebak mau ngapain? Reuni Pildacal. Please deh, Pildacal tuh terakhir ketemu waktu saya masih nulis di blognya friendster dan akhirnya jadi salah satu postingan awal di blog ini.

Ketemu di kampus aku aja ya, gimana?
(Itu Tata yang tanya, saya males juga aku kamuan sama Ical 0.0)

Kampus A apa Kampus B 
(Itu  saya yang tanya, masa Tata mulu)

Kampus B, Sudirman Park

Oke , oke

Aku udah nyampe   shelter

Bentar yaa aku OTW

Kampus B kan

Iyaaaa


Singkat kata, saya sudah ada di kampus B, dan saya liat ada sms,


Aduh aku bodoh banget deh, kenapa gak akunya aja yah yang ke Shelter Busway Karet


Sebenernya aku nungguin kamu ngmg gt dari tadi, aku udah nyampe nih.

Kan biar kita naik bemo bareeeeeng :"""") bentar ya

Dan itu dia, datang sambil berteriak dan melayangkan sebuah pelukan yang tertunda sekian tahun lamanya. That was so "titik dua tiga". Ngerti maksud saya? -> :3 .Dari sana beralihlah kami semua, menuju sebuah tempat yang orang - orang namakan sebagai Ancol. Sesuatu yang orang sering sebut - sebut sebagai pantai, dan tersebutlah kami berada di sana. Kami mulai dengan sampai, dan duduk gak ngapa - ngapain nungguin bis gratis dan hanya duduk - duduk sambil minum yang sayangnya harus bayar. Berkelakar sampai berakar. Dilanjutkan dengan narsis.

Dari sana, datanglah bisnya, kami naik dan kami turun di Pasar Seni, dan main - main ke galeri yang kalau tidak salah ingat namanya NAS. Kamu tau, kami masuk. Dan kami bermain, seolah kamilah yang berpameran dan galerinya milik salah satu dari orang tua kami, hingga akhirnya satpam yang wajahnya sama sekali tidak mirip Briptu Norman datang dan mengingatkan kami. Untung pak satpam yang sama sekali tidak mirip Briptu Norman itu tidak melihat bagaimana kami memindahkan sebuah kursi yang tadinya digunakan untuk duduk menonton video kami alih fungsikan menjadi tripod.

Dari situ, kami lapar dan kami beranjak keluar. Kami bingung, sebenarnya saya yang membuat mereka bingung karena saya tidak bisa, tepatnya tidak ingin memakan yang mereka makan. Bukan alergi, tapi pilihan. Hanya saja itu membuat kami bertiga hanya duduk di tangga dekat tempat makan (yang bahkan belum kami lihat menunya itu, dan entah kenapa kami lebih suka duduk - duduk di tangga sambil heboh itu) Sampai akhirnya kami liat sebuah bangunan berwarna ungu, walaupun itu ungu, kami tidak menebak kalau itu adalah Pasha, kami malah mengira kalau itu adalah Solaria. Dan kami hanya tetap duduk di tangga sambil nanyain mas - mas yang lewat, "Itu Solaria bukan, mas?" semuanya menjawab "bukan", tetapi kami tetap sabar dan tabah menunggu sampai ada yang bilang "iya".

Tapi tidak ada yang mengatakan demikian hingga kami memaksa diri kami untuk bangun dan melihatnya sendiri, dan tidak ada satupun dari mas - mas yang tadi yang berbohong. Dengan rasa tengsin gela, akhirnya kami balik lagi ke tempat tadi dan memilih makan di lantai bawah aja. Di lantai bawah loh, bukan di bawah lantai. Lalu kami makan, dan mulai mengobrol banyak, dan berlanjut ke pantainya, main tebak - tebakan dan semua permainan yang tidak menggunakan battre dan kesemuanya tidak ada yang penting.

Kami menghabiskan waktu dengan duduk, memandang sesuatu yang namanya perahu, yang ada di atas laut. Dan Tata mulai memperagakan apa yang Summer dan Tom lakukan di taman, di film (500) Days of Summer. Cuma saya dan Tata yang memperagakannya, si Ical gak ikut - ikutan. Tapi tiba - tiba ada abang - abang tukang perahu yang lewat dan memperagakan hal yang sama, lalu dia bilang, "Udah mendingan naek kapal aja yuk. poto - poto biar kaya di pilm tetanus, eh tetanus..titanic!". Kami tertawa sebagai penghargaan sekaligus penolakan.

Setelah seharian tidak penting, kami mulai mengobrol banyak. Tentang masa depan kami, tentang masa depan teman - teman kami. Wahai beberapa teman kami, semoga kalian tidak menaruh dendam kepada Dewa Ganesha hanya karena salah satu kampus yang memakainya sebagai lambang menolak kalian. Semoga kita termasuk orang - orang yang bisa membedakan yang mana "jalan" dan yang mana "tujuan". Semoga kalian tau, yang namanya cita - cita itu mencapai "tujuan", bukan mencapai "jalan". Bisa jadi kalian mencapai tujuan kalian dengan jalan yang tidak kalian duga sama sekali sebelumnya, atau kalian ingin tetap memaksakan, tetap berjalan tapi belum tentu sampai ke tujuan. Tentu kita ingin jalan dan tujuannya tercapai, tapi kalau Tuhan punya jalan dan tujuan yang lebih baik, masa kita mau maksain kehendak kita yang masih gambling sama kehendak yang udah jelas - jelas jelas.

Semoga sepuluh tahun dari sekarang, Pildacal bisa duduk di tempat yang sama. Di saat di mana ical tidak sedang mengurus tokonya, Di saat di mana Tata sedang pulang ke Jakarta dari NY, dan di saat di mana saya sedang pulang ke Jakarta dari Amsterdam. Tapi mungkin kalau jarak waktunya di ubah jadi 12 tahun dari sekarang, dan saat itu Tata belum punya suami berarti kalimatnya saya ganti jadi "di saat di mana saya sedang pulang ke jakarta dari NY juga". HAHAHAHA

Apasih, apapun itu, the future is not ours to see, que sera sera, what ever will be, will be. Dan apapun yang lebih baik dan lebih mengagumkan dari ini, saya siap, Tuhan. Saya siap.

14 July 2011

Begitulah

Facebook kalah pamor sama Twitter
Melayu kalah pamor sama Korea

Sukailah!
Nikmatilah!

11 July 2011

Kalau kau bisa, silahkan saja.

Pagi itu saya bangun, dan seperti biasanya saya beranjak untuk mengambil spidol dan mulai menulis di dream journal saya. Tapi sebelum saya menulis, saya meluangkan waktu untuk sedikit mengetik, melalui sebuah telepon selular.

Semalem aku mimpi kamu

Mimpi apa?

Kamu minta aku ngubur kamu


ORANG GILAAAAAAA ._. kok mimpinya jahaaaat!

suruh ganti mimpinya!


Hahahahah, mana bisa.
Aku takut mimpinya punya arti buat masa depan.



Iya, saya tau. Itu hanya sebuah mimpi, saya sebenarnya hanya ingin mendengar respon dia. Kita bisa saja berkata kalau itu cuma mimpi, gak bakal mungkin kejadian di dunia nyata. Padahal kenyataannya kita gak tau masa depan, dan mimpi itu cenderung kiasan.


Mimpi itu bunga tidur. Masa depan itu diatur sama Tuhan dan Nobita


Saya hanya bisa tertawa, dan selebihnya tersenyum. Ternyata dia masih seperti anomali yang sama seperti yang saya temui di baris terdepan sebuah pentas seni beberapa tahun lalu. Hanya saja kini versi lebih baik, jauh lebih baik

03 July 2011

Peace

Kayanya saya belum pernah upload karya woodcutprint saya deh, okelah, ini untuk yang pertama kalinya.


Apa yang kalian pikirkan soal lambang itu? apa yang ingin kalian komplain? bagaimana kalau kalian searching dulu arti lambang itu sebenarnya, baru bersuara. :D

May peace be with us. Be blessed!

02 July 2011

Kemana kita malam ini : Bali

Setelah perjalanan panjang, melintas laut dengan kapal, kami sampai juga di Bali. Saya sempat bingung gitu di pelabuhan karena ternyata ada pemeriksaan KTP, dan berhubung saya anti sistem, saya tidak mau membuat KTP. Hahahaha gadeeeng, KTP saya ilang gitu, untung bisa gitu pake KTM. Singkat kata, kami sudah di daerah Kuta, di Poppies Lane, dimana supir taxi menyarankan kami untuk menginap di Balimanik. Balimanik cukup menyenangkan, 150ribu/malam, dekat dari mana – mana, lengkap dengan fasilitas kamar mandi dalam, kipas angin, serta kalau beruntung ada suara – suara MILF dari kamar sebelah, hahahahah.

Gak pake basa – basi, kami langsung cabcus ke Kuta. Saya dan Riki langsung surfing, si Rahmat lebih memilih untuk duduk – duduk dan jagain barang – barang. Yasudahlah mau bagaimana lagi, hidup adalah pilihan. Tidak lama juga kami surfing, hanya beberapa jam, dikarenakan ketika kami datang hari sudah menjelang sore dan sekarang sudah menjelang malam, dan sumpah.. itu dingin. Akhirnya pulang. Perjalanan pulang kami lewat Twisted Monkey dan berakhir dengan kacau beliau!

Keesokan paginya, sebenarnya sih keesokan siangnya kami menyewa motor dan langsung cabcus ke Tanah Lot dan disana sampai menjelang malam, dan pulangnya kami berkeliling untuk mencari tenda, jadi kami niatnya mau bikin tenda gitu di pinggir pantai, tapi si Riki nyari di Jakarta gak sempet, dan di Surabaya mahal, ternyata emang bener, pas di Bali dapet tenda murah gila gitu. Dari sana kembali ke Balimanik dan kembali tidur. Tapi sebelumnya sempet ke Kuta gitu ngetes tenda, jadi dipasang, didiriin, pas udah rapi langsung dibongkar lagi. Biarin deh orang mau bingung juga ngeliatnya.

Hari selanjutnya kami bangun siang dan putar – putar Bali. Malamnya kami duduk – duduk di depan teras kamar sambil memasak menggunakan Korlap, kami masak mie dan rasanya menyenangkan, ketika tamu – tamu yang lain melewati kami dan saling menyapa. Untuk menambah suasana, kami memutar musik, kali itu lagu yang saya putar adalah Jerusalem, yang dibawakan oleh Alpha Blondy and the Wailers. Tiba – tiba ada seorang bule, dari kamar sebelah yang datang dan dia langsung memanggil temannya ke tempat kami. Mereka mengobrol dalam bahasanya yang belakangan baru saya tau mereka itu dari Argentina.

Mereka menebak – nebak nama penyanyinya, dan saya mengingatkan kalau itu adalah Alpha Blondy, mereka teringat dan berangkat dari sana obrolan kami pun memanjang. Berhubung saya tidak bisa Bahasa Argentina dan mereka tidak bisa Bahasa Indonesia, kami mengobrol dalam Bahasa Inggris. Terimakasih Inggris Raya karena kamu sudah menjajah banyak negara, kalau tidak kami pasti bingung. Si Bule itu pun menanyakan apakah kami akan ke Reggae Bar malam ini, dan tentu saja kami iyakan. Ketika kami sedang menikmati mie kami yang sudah matang, tiba – tiba ada dua orang turis Jepang yang datang. Dia tidak bisa Bahasa Indonesia, dan saya tidak bisa Bahasa Jepang. Kalau kamu disana pasti lucu melihat kami mencoba mengobrol. Oh, Inggris Raya, harusnya dulu kamu jajah itu Jepang, biar kami bisa ngobrol.

Selesai makan, kami semua dandan gitu rapi deh pokoknya untuk berangkat ke Reggae Bar, dimana dua bule itu sudah tidak di kamarnya dan kami tidak tau Reggae Bar mana yang mereka maksud. Akhirnya kami datang saja ke Apache, dan langsung melantai dan lagi – lagi Rahmat memilih untuk duduk – duduk saja. Ketika sedang joget – joget sok asik, sambil nikmatin lagu, liat – liat mas – mas gimbal gitu bikin pengen cepet gondrong, eh ada bule gitu yang nyamperin saya sambil senyum,

“Your hair looks like Bob Marley when he was young!”
“THANK YOUU!! My name is Olip, and yours?”
“Hi Olip, I’m Karen!”
“Where do you come from?”
“Holland!”
“Aaaa! I’m from Jakarta” (gue bingung gitu mau ngaku warga Jogja apa orang Manado hahaha)
“Are you Muslim?”, si Karen tanya gitu.
“Yes I am!”, saya jawab dengan bangga gitu.
“Assalamualaikum!”


Waaah, entah kenapa saya sempet senyum – senyum sendiri gitu, dan muka saya jadi berbinar. Saya jawab salam dia, dan gak berapa lama akhirnya dia caw. Joget – joget lagi. Tiba – tiba gerah dan ngerasa saltum gitu karena kami kayanya kerapihan, akhirnya pulang ganti baju, balik lagi, joget lagi, dan tiba – tiba ada bule dateng lagi dan kali ini cowok, dia liat saya langsung teriak, “BOB MARLEY!!!” dan langsung meluk saya.

“No! no! I’m not him. Hahahah”
“Yes you are!! You are Bob Marley!”
“Hahahahah, what ‘s your name?”
“I’m Bob!”
“Hi, Bob, I’m Marley!”


Saya ngomong gitu dia langsung ngakak, terus saya dibawa gitu ke tempat temen – temennya, tapi saya gak ngerti mereka ngomong apa, saya belum bisa bahasa Bule Mabuk. Hahahah, gak lama kami pulang.

Keesokan siangnya kami check out, karena sudah punya tenda kami memutuskan pindah, kali ini ke Dreamland dan kali ini kami tidak menyewa motor, kami hanya diantar naik mobil dan sampai disana sudah saatnya sunset. Tapi ternyata Dreamland bukan tempat dimana tenda bisa didirikan, akhirnya cabut lagi, pindah ke Jimbaran. Di Jimbaran kami mendirikan tenda, dan jujur saja kami kurang nyaman di sana karena perlakuan penduduk lokal yang kami rasa kurang ramah. Kejadian itu membuat kami kembali lagi ke Balimanik keesokan paginya.

Keesokan harinya , saya bangun terakhir, yang lain sudah pada di balkon karena kamar kami kali itu ada di lantai 2. Sambil duduk, saya lihat di sebelah saya ada kakek – kakek. Si Riki suruh ajak ngobrol, katanya dia bisa Bahasa Indonesia, eh bener aja loh bisa. Sumpah deh nih orang kaya Mbah Surip, cuma versi Korea dan non-dreadlock. Udah tua, suaranya kenceng, ngaco lagi kalo ngobrol.

“Kamu kuliah di mana?” itu si Kakek tanya ke Riki.
“Saya di Atma Jaya, di Jakarta.”
“Ambil fakultas apa?”
“Hukum.”
“Berarti nanti kamu jadi pengkhianat.”

Tuh kan ngaco kan, sekarang giliran saya yang ditanya.

“Kamu kuliah dimana?”
“Yogyakarta”
“Fakultas apa?”
“Seni”
“????”
“Art”
“Aaaah, Art! Berarti kamu jadi Jigelo!”


Saya bingung gitu, saya pikir dia ngomong Bahasa Korea, terus dia ke kamar gitu ngambil kamus dan nunjukin ke satu kata. Gigolo! Dan saya disuruh baca arti kata itu yang kenceng. Ahahahaha ngaco ni ah komunis. Abis itu dia ngomongin Jasepat, dan saya gak ngerti gitu, dan dia nunjuk ke kamus, G – SPOT! dan saya disuruh baca lagi yang keras.
Terus dia tanya ke Rahmat,

“Kamu kuliah di mana?”
“Belum, dia masih SMA. Siswa, siswa!”
“Aaah siswa?! Kamu masuk kamar!”


Hahahah jadi Rahmat dianggep masih kecil dan belum boleh denger obrolan kita gitu. Dia memperkenalkan dirinya dan ditutup dengan, "Saya dari Korea Selatan, pindah ke Korea Utara. I am Communist but very gentleman". Kami ketawa – ketawa aja dan setelah itu saya dan Riki jalan – jalan sementara Rahmat istirahat karena kurang enak badan.

Kami melihat seorang Bli memasang sesajen, mengobrol banyak soal itu dan saya tersenyum ketika dia bilang, “kita semua sama, cuma beda kulitnya.” Seandainya semua orang mau memandang dari cara pandang Bli tersebut, dan seandainya semua tidak mudah terhasut oleh pihak – pihak yang mencoba memecah kita semua.

Saya dan Riki sekarang main – main ke Pasar Tradisional belanja - belanji, dan pulangnya ke Sanur. Di Sanur kami ngobrol – ngobrol lagi dengan ibu penjual makanan disana. Tentang bagaimana sebenenarnya toleransi di Bali, tentang dampak Bom Bali, serta tentang kenapa perlakuan penduduk lokal Jimbaran kepada kami seperti itu. Terlaknatlah kalian yang mengaku Muslim tetapi tidak bisa mengamalkan akar kata dari Islam itu sendiri, Salaam, yang berarti damai. Terlaknatlah bagaimana kalian membunuh dan mengatasnamakan agama.

Setelah itu balik lagi ke Balimanik. Kami ketemu lagi sama bule Argen itu, sumpah saya belum tau namanya, dan akhirnya saya tau kalo namanya Nikolas, dan saya tanya kemana temannya yang satu lagi, katanya si Jose lagi sakit.

Akhirnya kami tengok gitu kan ke kamarnya, saya tanya sakitnya apaan, katanya “too much party” hahahahahha, terus kami ngobrol banyak dan kalian pikir sendiri lah, mereka dari Argentina, apa yang kita obrolin. Kemudian kami ajak gitu mereka masak bareng makan bareng. Kami makan bareng sama bule dan rasanya lucu. Apalagi ngeliat mereka doyan gitu makan Indomie, dan kepedesan makan ayam yang pake bumbu Bali gitu, gimana kalo diajak makan Salero Bundo. Habis dari situ kembali lagi ke Twisted Monkey dan akhirnya kami berlima, kembali lagi ke Apache Reggae Bar. Saya, Riki, dan Rahmat tidak berapa lama di Reggae Bar tersebut karena kami kembali ke Balimanik, untuk sekedar bertassawuf dan mengambil kesimpulan dan pelajaran dari perjalanan kali ini, setelah itu kami menikmati kuta di malam hari. Malam itu benar – benar penutupan yang sempurna untuk sebuah perjalanan, benar – benar AAAAAH THANK YOU LORD, terimakasih untuk semuanya.

Keesokan harinya kami pulang, niatnya sih pengen ke Lombok sama Samalona gitu, tapi mengingat soal dana dan waktu, karena Rahmat harus persiapan demo ekskul, jadinya kami harus pulang. Tapi tenang, perjalanan kita belum berakhir, you think it’s the end, but it just the beginning. Okeh!

Dadah Bali, dadah lucu, mungkin gak ya bisa ketemu lagi.

Kemana kita malam ini : Surabaya

Surabaya adalah tempat transit, tempat di mana saya akan berpisah dengan Sigit dan Adit yang berencana pulang ke Jogja duluan dan tempat bertemunya saya dengan Rahmat dan Riki, yang mana kami akan melanjutkan perjalanan ke Banyuwangi dan menyebrang ke Bali. Terlepas dari itu semua, sekarang saya, Adit, dan Sigit berada di Wonokromo menunggu Bondo, untuk selanjutnya menginap di tempatnya. Kami sampai dan tidur, paginya kami muter – muter udah kaya turis.

Setelah berputar – putar, sorenya saya janjian dengan Elang, untuk pindah menginap ke tempatnya. Kami bertemu di daerah Balai Pemuda. Selang berapa lama Elang datang bersama Domas, kemudian kami lanjut untuk cari makanan. Di sana saya ketemu temen – temennya Elang, rame gitu, dan saya lupa nama mereka satu persatu.Di lanjutkan ke tempat temennya Elang. Pas lagi ngobrol – ngobrol, Elang megang tangan saya keras banget. Gak lama anjing temennya lewat, Golden gitu, emang gede sih, hampir sepinggang saya. Elang langsung naik ke mobil dan langsung ngajak cabut. Di mobil Elang cerita kalo anjingnya tuh serem, dia makannya orang. Kalo laper anjingnya nyari bayi gitu, terus dikubur. Pas udah tinggal tulang baru dimakan sama tuh anjing. Saya cuma berpikir, anjingnya kan lagi laper banget sampe nyari bayi gitu, keburu mati juga anjingnya kalo ditungguin ampe tuh bayi tinggal tulang.

Hahaha, sudahlah. Elang bertanya apakah kita ingin mampir beli cemilan dulu, setelah diiyakan kami mampir ke Indomart. Elang dan Domas masuk ke dalam duluan, ketika saya masuk saya liat Domas udah megang – megang duren. Hebat kan? Saya rasa Domas doang yang cemilannya duren sampe 100ribu. Hahahah, di rumah Elang kami makan duren sampe mabok gitu, padahal udah dikasih setengahnya ke assistennya Elang. Kami gak kuat, kami serahkan semuanya ke Domas.

“Abisin ya, Dom! Abis kan ini?”, tanya Elang.
“Iyaa! Tenang aja.”, jawab Domas.
“Keren, Dom cemilan kon!” kata Elang seraya masuk kamar, disusul saya.

Hari selanjutnya kami habiskan dengan marathon DVD Dan Cap Xa sampai pagi di Dunkin Donuts bersama Borris dan Bocil. Dan keesokan harinya ke Stasiun untuk memesan tiket. Saya lihat kereta Ekonomi ke Banyuwangi jam 09.00 dengan harga 30.000, dan ada kereta Eksekutif dengan harga 90.000 ke Denpasar yang seingat saya berangkat pukul 15 lewat. Akhirnya setelah saya sms Riki, diputuskan untuk membeli tiket langsung ke Denpasar saja. Ternyata, harga tiketnya 150.000, gitu. Ya karena nanggung udah di depan loket saya beli buat 3 orang. Dari sana kita cabut.

Kemudian malamnya saya nemenin Albert and the Product perform, itu adalah bandnya Elang dan di sana juga saya bertemu Macan, Femy, Kiza, dan Marsha. Di sana jujur saya melihat pemandangan yang cukup gimanaaa gitu ya. Jadi itu kan acara DJ - DJan gitu, tapi saya liat ada gadis berhijab menenteng Bintang ditangannya sambil berjoget. Terlepas dari menikmati musik atau tidaknya serta diminum atau tidaknya Bintang tersebut, saya merasa ada yang aneh saja. Mungkin seaneh kalau kalian melihat ada mas – mas gimbal berbaju tie dye di dalam Masjid, tapi kita sama – sama tau mana yang lebih dan mana yang kurang.

Sesampainya di rumah Elang sudah masuk waktu pagi, padahal Riki bilang keretanya sampai di Pasar Turi pukul setengah tujuh. Kami tidur dan jelas kesiangan. Di tengah jalan menjemput Riki, entah kenapa saya ingin melihat tiket, dan ketika saya lihat tiketnya..

JAMPUT! AKUARIUM!


Kereta ternyata berangkat pukul sembilan dan posisi saya melihat itu jam sembilan kurang sepuluh, saya masih di jalan yang agak macet, dan belum menjemput Riki dan Rahmat, serta tas saya juga masih di rumah Elang. Yaudahlah saya pasrah gitu, sambil menata mood, saya SMS Riki, “Batal, coy ke Bali!”

Sesampainya di Pasar Turi saya langsung maaf – maafan gitu kaya lebaran, terus ngasih unjuk tiketnya. Dari sana kami tetap berangkat ke Gubeng. Di perjalanan, saya teringat sebuah Khutbah Jumat tentang mukjizat Surah Al – Fatihah. Jadi si Khatib bilang, dia sering berada di posisi seperti saya, tetapi sepanjang jalan dia membaca Al – Fatihah, dan ajaibnya keretanya telat keberangkatannya dan yang lebih ajaibnya itu bukan cuma sekali.

Oke, saya bukan si Khatib, tapi kami tetap membaca Al – Fatihah sepanjang jalan. Biar kalau – kalau keretanya telat haid, saya, Riki, dan Rahmat bisa langsung naik. Biarlah saja nanti tas saya dikirim via paket. Kami sampai di Gubeng dan bertanya kepada mbak – mbaknya. Alhamdulillah, keretanya sudah berangkat, tiket 500ribu hangus, dan kami jadinya membeli tiket ekonomi ke Banyuwangi.

Berhubung keretanya berangkat masih jam 2, kami ngambil tas dulu di rumah Elang dan makan. Pas kelar makan di Kedai Nostalgia Jalan Pacar (saya suka ketawa sendiri kalo inget nama jalannya) kami memutuskan untuk ke stasiun. Tapi pas mau masuk mobil, saya salah buka pintu mobil gitu. Saya buka pintu mobil orang yang dimana orangnya lagi nyender ke pintu dan yang dimana kalau saya buka lebih lebar pasti orangnya jatuh gitu ke belakang. Sepanjang jalan kami ngakak soal hal itu.

Kami di stasiun lagi, setelah perpisahan dengan Elang dan menunggu, keretanya datang. Kami naik. Keretanya harusnya berangkat jam 2, tapi sampe jam 3 masih ngetem di stasiun. Al – Fatihahnya manjur! Cuma salah kereta. Hahahahahahah. Emang bener ya, kalo minta apa – apa ke Tuhan itu harus spesifik. But everything happens for a reason, di kereta saya baru tau gitu kenapa saya labih baik naik kereta ekonomi. Hahahahay. Oke, tujuan selanjutnya Bali!

Kemana kita malam ini : Malang

Beberapa bulan yang lalu, Adit mengajak anak – anak untuk main ke Surabaya dan menyempatkan diri singgah di Malang. Saya jelas mengiyakan. Tapi yang terjadi sekarang malah saya, Adit, dan Sigit sedang berada di dalam kereta untuk singgah di Surabaya dan selanjutnya berangkat ke Malang. Perjalanannya biasa saja, kecuali mungkin ketika saya sedang benar – benar bosan tidak melakukan apa – apa di kereta dan memutuskan untuk mengisi waktu luang dengan menggimbal rambut Sigit. Seorang ibu di kursi seberang menenangkan anaknya yang sedang rewel dengan kata – kata, “tuh kalo bandel rambutnya digituin tuh!”, sambil menunjuk saya, dan sayapun hanya melihat anak tersebut sekedar memastikan tangisnya sudah berhenti.

Sebut saja kami sudah sampai di Surabaya, kami memutuskan untuk ke Balai Pemuda dan sisanya membunuh waktu di skate park. Sekedar menunggu jam keberangkatan kereta ke Malang, duduk – duduk melihat anak – anak sana main skate. Seolah – olah pro, hanya duduk dan berkomentar HA HA HA. Dari sana kami ke stasiun dan kemudian berangkat ke Malang. Keretanya sepi, dan kaminya lelah. Akhirnya kami memutuskan untuk tidur. Ketika bangun, saya lihat anak – anak tidak ada, saya tau mereka ngisengin saya, tetapi kalau mereka berekspektasi saya akan bingung dan panik mencari mereka kemudian mereka menertawakan saya, mereka salah besar! Karena saya memilih untuk tidur lagi. Saya bangun lagi, anak – anak masih tidak ada. Saya tanya ke kursi depan, malang masih 1 stasiun lagi, sayapun menikmati perjalanan yang gelap gulita itu, dan ketika sampai di malang, saya turun sendiri. Membiarkan dua orang anak itu yang mencari saya.

Kami di Malang, jam 9 malam, dan kali itu dingin. Temannya Adit yang tadinya ingin kami inapi tempatnya ternyata sedang di Surabaya, jadi kesimpulannya malam ini kami tidak tau mau tidur di mana. Daripada bingung, dan karena kami buta Malang, kami memutuskan untuk tidur di stasiun. Setelah makan, kami tidur, saat itu jam sepuluh, dan “Malang belakangan ini lagi kaya kutub!”, itu kata teman saya yang tinggal di Malang dan belum pernah ke kutub. Tidur pulas dan bergulat dengan rasa dingin. HP saya bergetar, dan saya dengar suara orang menyapu. Saya terbangun memandang langit, Alhamdulillah sudah subuh! Saya lihat HP saya, “Oh, SMS dari Chibi.”, setelah saya balas, saya lihat jam, “HAH! BARU JAM SEBELAS?!”

Saya lihat dua orang anak itu, mereka juga shocking pink, ternyata cuma tidur satu jam, dan jujur saja kami sudah tidak kuat kalau harus melanjutkan tidur di sana. Akhirnya kami memutuskan untuk ngopi, dan Sigit baru ingat kalau punya teman di Malang, dan Alhamdulillahnya kami di jemput dan akhirnya kami bisa tidur dalam sebuah kamar HA HA HA.

Keesokan harinya, saya janjian bertemu dengan Duro. Sebulan yang lalu dia bilang Agustus ini dia sudah berangkat mengejar cita – citanya untuk menjadi koala, ketimbang nanti susah ketemu – ketemu lagi menjadi salah satu alasan saya berangkat ke Malang kali itu. Tapi pas ketemu dia malah bilang, “Kamu ngapain sih ke Malang? Mau ketemu aku, ya? Orang aku berangkatnya diundur abis lebaran.” Ahahaha asli, ngeselin banget. Dari sana Duro bawa kami keliling kota Malang, setelah berpisah sejenak kami ketemu lagi untuk selanjutnya melanjutkan ke daerah Batu, sekedar menagih janji dia soal makan waffle, dan ternyata tempatnya tutup -_- . Akhirnya kami ke alun – alun Batu, sekedar nyobain wahananya yang ternyata tidak berasa itu.

Dari sana kami berangkat ke UM, bertemu dengan anak – anak HMJ seni rupa sana. Di sana juga ada Enay, anak Grafis ITB yang saya temui di UNJ dulu. Kami mengobrol – ngobrol, dilanjutkan dengan main Poker, dengan peraturan kalau kalah jongkok, dan kalau kalah lagi berdiri. Gedung HMJ seni rupa UM itu sakral, kalau kita ngatain yang lagi jongkok pasti selanjutnya kita yang kena, hadaaah. Peraturannya kalau menang pertama baru boleh duduk lagi, peraturannya menyenangkan, kecuali untuk saya yang sedang jongkok dan terus – terusan menang juara kedua. Karena pegel, saya bubaran, dan tidur.

Paginya, saya janjian ketemu Vanny di MOG, tapi anak – anak males jalan gitu, dan saya juga buta Malang, akhirnya saya bingung gitu juga gimana kesananya. Akhirnya kami balik ke kosannya si Aga, si temennya Sigit itu, yang kosannya di belakang UB itu, yang pintu kamar mandinya bisa di lepas dan bisa dipindahin buat nutupin pintu kamar mandi sebelahnya yang lagi dia pake sehingga dia sempet bingung keluarnya gimana itu.

Agak siangan, saya janjian ketemu sama Nadia di UB, akhirnya ketemu Nadia dan kami berangkat ke MOG, biar sekalian bisa ketemu si Vanny. Tapi pas nyampe MOG, ternyata Vannynya udah cabut. Tebak kemana? Nonton DBL di Gor UB. Ya Allah, gak jodoh amat hahahahahaha. Di MOG, saya ketemu sama Duro lagi, terus ketemu sama Nyon. Anyway, Duro itu nama aslinya Nadine. Nadine, Nadia, dan Nyon, mereka beneran anak Malang ya namanya “N” semua. Si Nyon dulu adik kelas saya, dan ternyata dia mainnya sama si Nadine juga, hahah kadang –kadang saya suka bagaimana cara lingkaran ini berputar.

Di sana kami fotobox gak jelas terus sorenya saya cabut lagi gitu ke Surabaya. Oke cin? Cabcus!