01 November 2008

24 Oktober bagian ketiga

Singkat cerita, kami sudah setengah jalan. Benny pada posisi kemudi, Panji dan Dulce di kursi tengah, dan saya yang sadar diri pindah ke kursi paling belakang menyisakan kursi paling depan untuk Rere.

Akhirnya kami menjemput Rere, saya di belakang sedang tidur – tiduran menikmati rambut nenek sihir (ituloh yang warna pinky cutie gitu yang kayak kerupuk terus ada kayak rambut – rambut gitu yang kayak rambut nenek sihir, katanya sih memakai pewarna tekstil, peduli setan deh, mengenang masa kecil).

Sampailah kami di rumah Rere.

“Loh, kak Pilo mana?”, Tanya Rere yang baru masuk mobil.

“Gak ikut dia.”, Jawab Panji, diamini penghuni yang lain.

“Kenapa? Gara- gara gak ada Icul yah?”, Tanya Rere lagi.

“Iya, kamu tau kan hidup dia isinya Icul doangan.”, Jawab Panji Lagi.

Sepanjang jalan sunyi sepi, berhubung saya sedang ngumpet pura – pura gak ada.

“Sepi banget yah, garing nih kita segini doang.”

Saya hanya tetap mengunyah rambut nenek sihir yang kerupuknya memang garing itu.

Begitu sampai, Rere turun dan shock melihat saya. Hahahaha.

Akhirnya sampailah kami di Balai Sudirman, bertemu dengan PiC saya, dengan wajah yang sudah tidak fresh lagi, katanya sih “ada aja cobaannya!”

(Untuk mengetahui apa yang terjadi pada dirinya, silahkan klik disini dan disini)

Kami masuk bertiga pasang, Panji dengan Dulce, Benny dengan Rere, saya dengan Icul.

Pada bagian buku tamu, kami berpencar menjadi tiga bagian, menulis pada buku tamu yang berlainan.

“Ji, ah kecewa gua ama lo, tadi lo nulisnya bukan atas nama 93nK q-Th@ kan?!”

“Iya tadi gua nulis Panji dan Dudul, addressnya di Pondok Indah, emang lo apa?”

“Olip dan Icul, addressnya genk q-tha.”

“Tau nih panji, tadi gua nulis Benny, terus genk q-tha di address.”

“Ya kali lo nulis nama lo doing, Ben!”

Baru sebentar disana, rasa bosan sudah datang, tau sendiri kan prosesi adat Jawa tuh lama, sementara kami sudah tidak bisa melihat apa – apa lagi kecuali makanan. Dan kecuali Dayu yang terbalut busana pinky – pinky batik es doger gimana gicu dech.

Belum selesai mentertawakan Dayu, Benny memanggil.

“Liat dah.”, dia berbicara ke kami semua dengan pandangan mata ke arah lantai.

Terlihatlah sepatunya menganga, sol sudah terlepas setengah.

“Buset, kali lo pake sepatu Voltron gini ke nikahan, Ben!”, Tukas saya.

Benar saja, setelah terpisah mencari makan, makan, dan makan lagi, dan makan lagi, akhirnya kami berkumpul lagi dan Benny kembali mengulanginya.

“Liat dah.”, dia berbicara ke kami semua dengan pandangan mata ke arah lantai (lagi).

Terlihatlah sepatunya bukan menganga lagi, sol sudah terlepas semua.”

Jadi mau tidak mau dilepaskan juga sol sepatu sebelahnya, biar tingginya sama. (Dikira pake hak, kali! Sepatu kaya gitu mah gak pake hak, pakenya kewajiban [hadah freak lo, bajing] hahahah).

Hadaaah..

Bodo amat deh ah, saya pun akhirnya sibuk menumpahkan rasa rindu yang selama ini saya hanya bisa curahkan di kamar mandi.

Hadaaah..

Tau deh ah, pokoknya…That nite was awesome, makasih ya semuanya.

Sering – sering aja abang lo kawinan, Day!

No comments:

Post a Comment