12 October 2008

Perang bintang

Tugas saya hari itu, menemani keponakan - keponakan saya memuaskan libido mereka di Dunia fantasi.

Saya berjalan dengan gontainya, sementara keponakan - keponakan saya sudah berlari jauh di depan, yasudahlah dapat medali perunggu juga syukur Alhamdulillah.

Tiba - tiba sepupu saya (yang kebetulan berpaut usia cukup jauh dengan saya memanggil)

"Yo, cepetan! itu Manda sama semuanya udah pada masuk ke Perang Bintang semua!"

Saya mempercepat langkah saya, tapi sampai di depan situ terhenti.

Ternyata sudah dipalang 4 orang yang antri, keponakan saya (5 orang) sudah masuk di dalam.

Akhirnya saya, Sepupu saya (saya memanggilnya Mbak Dewi), Keponakan saya yang masih berusia 3 tahun (saya memanggilnya Cimot), serta kakaknya (saya memanggilnya Kadro) mau tidak mau harus antri untuk menunggu giliran kami masuk.

Mulanya biasa saja, sampai si Cimot mulai menggelinjang dan bawel sendiri.

Mbak Dewi menyuruh kami untuk bersabar.

Makin lama antrian makin panjang, sekitar 7 orang bertambah setiap sekitar 7 menitnya.

"Bundaaa..aku mau masuk!" Kata Cimot, dan diamini oleh kakaknya.

"Sabar yaah..kita harus an..."

"Triii" jawaban Cimot, hahah lucunya anak kecil.

Antrian makin memanjang, sudah melewati McD

Mbak Dewi berkata, "Tuh liat tuh de, antriannya udah panjang banget, kalo kita nyerah berarti kita rugi."

Tidak lama Cimot sudah menggelinjang tidak betah, kakaknya juga ikut - ikutan (ngikut aja mentang - mentang punya ongkos.)

"Kita tuh harus sabar, dalam hidup tuh kita kalo gak sabar kita gak bakal dapet apa - apa", kata Mbak Dewi.

Ya memang, keluarga saya religius, saya juga bingung kenapa saya kafir sendirian.

Dari cara berpakaian saja, sudah memakai kerudung yang terusan sampai ke pinggang, kalau Mbak Dewi pakai cadar, pasti orang - orang sudah salah sangka mengira saya Fedi Nuril, bintang utama film Realita, Cinta, dan Rock n Roll yang terkenal itu.

Kejadian itu terus berulang. (Bukan! bukan soal orang - orang mengira saya Fedi Nuril, melainkan keponakan saya yang kebosanan, dan sepupu saya yang menyuruh mereka untuk bersabar.)

Dan tak lama, Mbak - mbak penjaga wahananya keluar, dan berbicara sesuatu.
Sayangnya tidak ada yang mendengarkan dengan jelas dia berbicara apa.

Mungkin memang sebenarnya Mbak itu tidak berbicara, hanya sedang melatih gerakan sandi pramukanya, sayang saja dia lupa bawa bendera.

Tak lama, Manda, keponakan saya yang sudah masuk dari tadi, keluar dari pintu masuk.

"Lah kok keluar lagi?" saya kebingungan, dia keluar dari pintu dari pintu masuk pula.

"Pesawatnya mati."

Jadi dia di dalam juga gak ngapa - ngapain.

Antrian bubar! kata - kata Mbak Dewi terngiang dalam benak saya.

"Kita tuh harus sabar, dalam hidup tuh kita kalo gak sabar kita gak bakal dapet apa - apa."


Kita sudah sangat bersabar sekali, namun tetap gak dapet apa - apa juga.

Ada yang bisa menemukan pesan moral dalam kejadian ini?

No comments:

Post a Comment