Ini adalah dialog yang terjadi dengan salah seorang teman saya, Lola Loveita. Awalnya kami berbincang mengenai sebuah pertanyaan yang mungkin datang dari salah seorang mantan blogger favoritnya, saya tidak ingat jelas, kurang lebih seperti ini.
"Kalau kesempurnaan itu nggak ada, apa yang dicari orang perfeksionis.", mungkin gak gitu kalimatnya yang jelas initinya seperti itu.
Saya berusaha menjawab semampunya, kurang lebih beginilah perbincangan kami.
"Tuhan itu sempurna gak? Jelasin ke aku, kalau kesempurnaan itu nggak ada, berarti Tuhan itu nggak ada?"
"Berarti di dunia emang gak ada kesempurnaan, kalau gitu orang perfeksionis nyari apa?"
"Sebenernya emang orang perfeksionis mencari sesuatu yang terlalu sempurna, dan sesuatu yang "terlalu" emang gak ada yang baik. Tapi kalau misalnya kesempurnaan itu adalah 10 dan ketidaksempurnaan adalah 0, apakah kita mau stuck di angka 0? apa kita gak akan berusaha mencapai 9 atau seenggaknya 7? apa kita malah mengincar untuk menjadi 11?"
"Berarti kalaupun dicari kan gak didapetin apa yang kita mau, kita gak bisa dapet 10, terus apa yang kita cari? Aku perfeksionis, lagi."
"Gampangnya gini, pertanyaannya kan kalau kesempurnaan itu nggak ada, apa yang dicari orang perfeksionis?, jawabannya ya kesempurnaan itu sendiri. Tapi kan kesempurnaan itu nggak ada? Ya karena gak ada makanya dicari, kalo udah ada ngapain dicari - cari lagi?"
"Terus bagaimana dengan orang yang mencari kebahagiaan? kebahagiaan itu jelas - jelas ada, ngapain musti dicari - cari lagi?"
"Sama aja kaya orang yang mencari benda tapi merem, gimana mau ketemu kalo dia gak ngeliat? gimana kamu mau menemukan kebahagiaan kalau kamu nutup mata hati kamu?"
Sadar gak sadar, kita sebenarnya butuh ketidaksempurnaan. Saat kita menyayangi, mencintai, atau memuja seseorang, hanyalah kesempurnaan yang tampak di mata kita darinya. Sampai saat dimana dia melakukan sesuatu yang membuatnya terlihat cela, itu menunjukkan kalau sebenarnya dia hanya manusia biasa, yang bisa berbuat salah, dia hanya manusia, bukan Tuhan. Karena itu kesempurnaan tidak layak menjadi predikatnya. Begitu juga sebaliknya, saat seseorang yang kita benci, melakukan sesuatu hal yang membuat seolah semua celanya terhapuskan. Dengan demikian, ketidaksempurnaan tersebut akan membantu kita menilai sesuatu secara objektif, bukan subjektif.
Tanpa ada maksud untuk menggurui, hanya berbagi apa yang ada di pikiran dan hati saya, correct me if i'm wrong, please.